A Leader or 'just' a Manager

Pagi ini, Saya sedang mereply beberapa email lamaran, saat muncul desktop notification di sudut layar laptop Saya. A message from Tjahjadi Lukiman.

Ex. CEO Puninar Logistik yang biasa Saya panggil TLU itu mengirimkan sebuah gambar: 5 Levels Leadership

Melihat 5 level of leadership - John Maxwell yang tampil di gambar itu, muncul pertanyaan iseng Saya:

"Pak apakah step2 ini harus dijalankan sesuai urutan? atau boleh lompat?" Tanya Saya.

"Contoh, ada orang-orang yang secara posisi mereka gak punya jabatan supervisor, manager, atau posisi formal tertentu (belum tahap 1), tapi karena mereka senior employee, mereka dihormati dan diikuti (tahap 2, Permission, relationship), bahkan rekan kerja dapat lebih respek sama mereka, daripada sama spv nya" Sambung Saya, menjelaskan pertanyaan Saya.

"Menurut Saya sih itu menceritakan what kind of leadership you are. Ngga ada urutannya." Jawab TLU.

"Banyak informal leader juga sudah di level 5, Kalau formal leader yang hanya memanfaatkan jabatan & wewenangnya kan cuma manager level 1" Lanjut TLU lagi.

Saya mengirimkan jempol Saya.

Betul. Seringkali orang berpikir bahwa untuk menjadi Pemimpin di level-level selanjutnya, mereka harus menjadi pemimpin level 1 dulu. Mendapat jabatan, baru bisa mempengaruhi orang lain. Tapi Saya setuju dengan TLU, Supervisor, Manager, Director, itu cuma posisi, tapi Leadership itu bicara soal karakter.

Saya mengenang kembali pertemuan Saya di ruang konseling dengan seorang MT beberapa tahun lalu, ketika kami sedang membicarakan Career Plan.

"Project Manager mu sekarang Siapa?" Tanya Saya.

"Pak Danang Bu." Sahut MT muda dihadapan Saya.

"Berdasarkan pengamatanmu, tugasnya Pak Danang as Project Manager itu apa?"

"Banyak Bu, Mastiin truk-truk kita jalan semua, on schedule, tepat waktu, barang yang dikirim gak ada yang salah, gak rusak di jalan. Hubungan dengan Customer juga ada di Pak Danang." Jawabnya.

"Trus apa lagi?"

MT Muda di hadapan Saya berpikir sejenak, lantas menjawab.

"Ngecheck Laporan PnL, Ngecheck Performance Report, ngelead process PDCA, dan backup kita, kalau kita diomelin Pak Tjahjadi." kalimat terakhir dari jawaban MT muda itu membuat Saya tertawa.

"Oke. Jadi menurutmu, untuk bisa melakukan tugas-tugas tersebut secara ideal, kompetensi apa saja yang diperlukan?" Tanya Saya.

Lawan bicara Saya berpikir sejenak, sebagai orang yang Saya rekrut sebagai Management Trainee, Saya yakin ia memiliki analisa yang tajam untuk bisa menjawab pertanyaan Saya tersebut.

"Harus bisa ngatur Driver di lapangan, harus bisa ngatur kami juga yang di dalam, harus bisa gulirin roda PDCA, bikin report. Dasar-dasar Finance juga harus ada kali ya bu?"

Saya mengangguk.

"Bina hubungan ke customer juga harus bagus, oh iya, harus bisa juga komunikasi dengan departement lain, jadi kalau ada truck rusak atau apa, gak berlarut-larut di Workshop. Harus bisa jadi tempat bertanya kalau kami bingung, atau kalau ada yang abis diomelin Pak Tjahjadi" Kali ini ia ikut tersenyum dengan jawabannya.

"Mana dari antara jawaban-jawaban kamu itu yang sudah kamu miliki, dan mana yang belum?" Tembak Saya.

Ia menghitung dengan jarinya: "Bikin report Saya bisa, PDCA... bisa lah, hubungan ke customer juga udah pernah gantiin Pak Danang beberapa kali, tapi kalau ngatur driver, ngatur temen-temen se tim ya belum lah."

Saya tersenyum, "Kenapa?"

"Ya siapa Saya Bu?" Sahutnya. "Saya kan cuma MT, belum punya jabatan apa-apa."

Saya mengangguk. "Jadi menurutmu, kamu harus di kasih jabatan dulu baru bisa ngatur-ngatur?" Tanya Saya sambil tersenyum.

Wajah di depan Saya memperlihatkan raut berpikir keras, sepertinya ia takut, ia memberi Saya jawaban yang salah.

"Maksud Saya begini Bu" Ia merendahkan nada suaranya. "Saya sama teman-teman Saya setim kan sama-sama MT, malah ada yang angkatannya sudah di atas Saya. Gak enak lah, kalau Saya yang atur-atur kerjaan mereka"

Saya mengangguk-angguk untuk menenangkannya.

"Begini..." Saya membetulkan posisi duduk Saya.

"Saran Saya: latihlah kemampuan memimpin kamu, bahkan saat kamu belum memiliki jabatan apa-apa." Mulai Saya.

"Jangan tunggu kamu secara formal diberi anak buah, baru kamu mau memimpin. Jika kamu nunggu diberi jabatan supervisor, baru mau ngelead, berarti kamu cuma seorang supervisor. Tapi kalau kamu mau untuk ngelead, walaupun belum punya jabatan apa-apa, that's mean you're a leader. And a True Leader akan bisa ngelead, walaupun berhadapan dengan orang yang lebih senior, ataupun lebih tua." Kata Saya.

Lawan bicara Saya ganti mengangguk-angguk.

"Mana yang lebih penting? Menjadi seorang Supervisor, menjadi seorang Manager, atau Menjadi seorang Leader?" Tanya Saya.

"Saya pingin jadi dua-duanya Bu, Jadi Manager, tapi juga Leader." Jawabnya.

Saya tersenyum "Lebih baik mana? jadi Manager tapi bukan Leader, atau menjadi Leader meskipun bukan Manager?"

Ia berpikir sejenak, lalu menjawab "Mendingan yang kedua bu."

"Good. Ini saran Saya selanjutnya, jangan kejar posisinya, tapi kejarlah kompetensinya. Tadi kamu udah sebutin beberapa contoh yang sudah bener, nanti Saya akan tambahin lagi di Form kamu. Saran Saya, kejarlah supaya kamu memiliki kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan itu, soal posisi belakangan. Lebih baik kamu jadi Supervisor yang punya kompetensi Manager, daripada jadi Manager yang kompetensinya cuma Supervisor."

"Tapi Bu, bagaimana kalau Saya sudah punya semua kompetensi ideal itu, tapi Perusahaan gak angkat-angkat Saya?"Tanyanya.

Saya tersenyum "Kenapa? Apakah kamu merasa rugi?"

"Enggak juga sih bu."

"Begini, kadang-kadang, Perusahaan juga tidak bisa angkat jika tidak ada posisi yang kosong di atasnya. Jadi kamu harus make sure, peningkatan kompetensi pribadi kamu, juga berimpact pada peningkatan Performance Perusahaan. Perusahaan dapat project-project baru, buka cabang baru, ekspansi bisnis baru dan lain sebagainya. Dengan demikian Perusahaan butuh Project Manager Baru, Kacab baru, Manager baru, dan kamu adalah salah satu kandidat terkuatnya." Jelas Saya.

"Dan sekalipun misalnya, ada posisinya, kamu siap, tapi atasan atau perusahaan tetap tidak angkat kamu, kamu jangan khawatir.... A Star is a Star. Tidak ada yang bisa menyembunyikan cahayanya. Cahayamu tetap akan terlihat di departmen lain, Business Unit lain atau bahkan perusahaan lain. Kamu tidak akan kehilangan satu sen pun, dari apa yang sudah menjadi bagian rezeki kamu." Janji Saya.

Saya melihat MT muda di hadapan Saya itu mengangguk-angguk dengan wajah lega.

"Ok... jadi apa yang utama kamu kejar? Posisinya atau kompetensinya?" Saya mengulang pertanyaan Saya.

"Kompetensinya Bu."

"Good, mari kita masuk ke bagian selanjutnya..."

Saya membuka lembar berikutnya dari lembar konseling Saya. Mengucap Syukur karena bisa membagikan beberapa Nilai-nilai kepada MT Muda tersebut.

Ya, Saya sangat sering bertemu dengan anak-anak muda yang pintar, cerdas luar biasa, namun saat dijadikan Formal Leader, mereka tidak memiliki bekal kompetensinya. Sebagian hanya tahu teorinya saja, namun untuk mempraktekkannya, mereka tidak terbiasa. Oleh sebab itulah Saya mendorong para orang-orang muda ini untuk melatihnya, bahkan di saat mereka secara struktural belum punya siapa-siapa di bawah mereka.

Dengan otak secerdas mereka, menjadi manager, bahkan GM di usia muda adalah hal yang tidak mustahil. Namun buat apa jadi Manager, GM, atau Director, kalau itu hanya jabatan formal belaka? Saya jauh lebih bahagia jika adik-adik Saya ini bisa menjadi a Real Leader, meskipun mereka belum memiliki jabatan Formal yang wah.

Seperti yang TLU katakan "Banyak informal leader juga sudah di level 5. Kalau formal leader yang hanya memanfaatkan jabatan & wewenangnya kan cuma manager level 1"

Saya setuju. Bagaimana dengan Anda?

Have a Great Weekend, Great People,

Cheers,

Milka Santoso

Great to Great Consultant