I MOVED MY CHEESE


"I Moved My Cheese"

Kalimat itu yang Seringkali Saya gunakan untuk menjawab pertanyaan beberapa orang yang menanyakan, mengapa Saya meninggalkan pekerjaan tetap dan karir Saya.

Kata-kata itu memang diilhami oleh kisah 2 tikus dan 2 manusia yang ada di buku Who Moved My Cheese, dalam buku itu, diceritakan bagaimana reaksi orang-orang (dan tikus-tikus) terhadap perubahan. Orang (dan tikus) yang bisa bertahan adalah yang bisa bergerak menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, bukan orang yang tetap tinggal di tempat sambil bertanya: "Who Moved My Cheese"

Tapi bagi Saya, bisa beradaptasi dengan perubahan yang datang tidaklah cukup. Kitalah yang harus membuat perubahan itu sendiri. Bagi Saya, orang yang berhasil adalah orang yang bisa mengubah dirinya, bukan yang terpaksa berubah karena keadaan. Orang yang bisa menciptakan tantangannya sendiri, yang bisa memindahkan kejunya sendiri, bukan orang yang menunggu kejunya dipindahkan.

Beberapa hari yang lalu, Saya mengirimkan email kepada salah satu kandidat Saya.

“Hi Pak, apa kabar? Selamat Tahun Baru ya. Sesuai dengan janji kami sebelumnya, kami ingin menginformasikan adanya opportunity baru untuk Bapak, salah satu klien kami di daerah Jakarta Selatan sedang mencari seorang HR Manager yang punya pengalaman di Perusahaan Outsourcing. Apakah Saat ini Bapak masih mencari pekerjaan yang baru?”

Tak lama kemudian sebuah email balasan muncul:

“Halo Bu Milka, Kabar Baik Bu, Bu Milka Bagaimana?

Terimakasih ya Bu, sudah dihubungi kembali. Namun Sayang Sekali, Saya sekarang sudah tidak available untuk explore new opportunity. Saya mengikuti jejaknya Bu Milka, I moved My Cheese, per awal tahun ini, Saya buka sebuah bisnis baru dengan beberapa teman Saya.

Terimakasih ya Bu, Please keep in touch”

Saya tersenyum membacanya, di satu sisi Saya harus cari beberapa kandidat lainnya untuk memenuhi kebutuhan klien Saya, tapi di sisi lain (dan itu lebih besar) Saya merasa sangat senang karena kandidat ini mengikuti hidup yang Saya bagikan.

Bagi Saya menulis, sharing, konseling, bahkan nongkrong bareng, adalah sarana berbagi hidup. Saya merasa diri Saya adalah orang yang sangat berhutang kepada Sang Pemberi Hidup, oleh sebab itulah Saya merasa wajib dan perlu membagikan hidup Saya kepada orang lain.

Dan di tulisan pertama Saya di tahun 2017 ini, izinkanlah Saya untuk membagikan sesuatu: MENEROBOS ZONA KEBOLEHAN. Biasanya istilah yang dipakai adalah Keluar dari Zona Kenyamanan, namun menurut Saya lebih tepat, jika kita menyebutnya Menerobos Zona Kebolehan.

MENEROBOS ZONA KEBOLEHAN

Kenapa memakai kata menerobos? Karena seringkali kita tidak bisa keluar dari zona nyaman kita dengan ‘baik-baik’ saja, Saya lebih sering melihat dan mengalami, orang yang keluar dari zona kenyamanannya, harus keluar dengan gaya seorang penerobos, menembus tembok-tembok kelaziman, melewati batasan-batasan kebiasaan.

Lalu kenapa Saya lebih suka menyebutnya zona kebolehan? Bukan zona kenyamanan?

Begini.... menurut Saya, agak kurang tepat kalau kita katakan, kita harus keluar dari zona kenyamanan kita. Orang udah nyaman kok, Kenapa mesti keluar? Memang sih ada yang bilang tidak ada pertumbuhan di zona nyaman, dan tidak ada kenyamanan di zona pertumbuhan, there’s no growth in comfort zone, and there’s no Comfort in growth zone. Tapi apakah itu berarti pasti ada pertumbuhan di zona tidak nyaman? Tidak juga! Banyak kok kita lihat orang yang masuk zona tidak nyaman, malah semakin tidak bertumbuh.

Saya yakin pertumbuhan tidak berkolerasi langsung dengan ketidaknyamanan. Tapi Pertumbuhan berkolerasi langsung dengan kemauan untuk belajar hal-hal yang baru, belajar hal-hal yang tidak kita ketahui sebelumnya, keluar dari zona kebolehan kita.

Apa itu zona kebolehan? Zona kebolehan adalah zona dimana kita hanya dituntut melakukan kebolehan kita (hal-hal yang sudah biasa kita kuasai). Misalnya Saya sebagai Recruitment Manager, Saya hanya melakukan pasang iklan lowongan, sortir lamaran, tes kandidat, interview kandidat, Convince User dan Nego Gaji. Itu adalah hal yang (seharusnya) biasa bagi seorang Recruitment Manager, sudah seharusnya kami melakukan pekerjaan itu seperti gosok gigi (sudah refleks, tidak perlu mikir lagi).

Tapi ketika Saya keluar dari pekerjaan Saya (baca: I Moved My Cheese) dan merintis usaha Saya sendiri sebagai seorang konsultan, Saya memaksa diri Saya untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang baru. Bukan cuma pasang iklan, tes, interview, tapi juga how to develop the business, generate money, expand the portfolio, so on and so fold.

Saya memaksa diri Saya untuk melakukan hal-hal yang belum pernah Saya lakukan sebelumnya, menepis semua rasa takut malu, takut gagal, dan takut takut lainnya.

Saya menyadari jika Saya melakukan dan terus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sudah pernah Saya lakukan sebelumnya, mana bisa Saya bertumbuh? Tapi jika Saya melompat keluar dari zona kebolehan Saya, Saya akan mendapatkan keterampilan-keterampilan yang baru.

Ya, itu kisah Saya, kisah Anda dapat berbeda. Dalam prakteknya, menerobos zona kebolehan ini ada bermacam-macam. Tidak selalu keluar dari pekerjaan, bisa jadi Anda masih di perusahaan yang sama, tapi mendapat promosi di bagian yang berbeda. Bisa jadi Anda masih di posisi yang sama, tapi mendapat tambahan pekerjaan yang belum pernah Anda handle sebelumnya. Bisa jadi posisinya sama, tugasnya sama, tapi Anda sendiri yang memutuskan, untuk mengerjakannya dengan cara yang berbeda.

Lantas apa saja yang harus diterobos untuk keluar dari zona kebolehan kita?

1. Tembok Kepuasan

Tahukah Anda bahwa cukup baik tidaklah cukup? Jangan puas dengan apa yang sudah Anda capai sekarang, kalau Anda masih bisa bernafas di bumi, itu tandanya masih ada banyak hal yang perlu Anda pelajari.

Stay Hungry, Stay Foolish

2. Tembok Kemalasan

Anda suka main Game? Boleh-boleh saja. Suka tidur? Boleh-boleh saja. Suka nonton film korea berseri-seri? Boleh-boleh saja. Tapi evaluasilah apakah kesukaan Anda itu membuat Anda mengalami pertumbuhan? Jika Anda hanya mau melakukan hal-hal yang Anda sukai, tidak peduli apakah itu bermanfaat atau tidak, Anda adalah orang yang malas.

Teroboslah kemalasan Anda, Anda yang harus mengendalikan tubuh Anda, bukan sebaiknya. Andalah yang harus mengendalikan mood Anda, bukan sebaliknya.

3. Tembok Ketakutan

Takut gagal, takut gak bisa, takut malu, takut ini takut itu.

Dear Great People, ketahuilah Anda boleh gagal, tapi tidak boleh takut gagal. Anda boleh Malu, tapi tidak boleh takut malu.

Anda harus terobos ketakutan Anda itu ;)

4. Tembok Kesungkanan

Berbeda dengan tembok-tembok sebelumnya, tembok ini adalah tembok yang sering disebabkan oleh baiknya hubungan Anda dengan orang lain. Anda tidak mau menerobos zona kebolehan Anda, karena tidak enak sama si A. Anda tidak mau menerima promosi, karena tahu sahabat Anda menginginkan posisi tersebut, Anda tidak mau meninggalkan pekerjaan Anda, karena kasihan sama si Boss.

Dear Great People, tahukah Anda, bahwa sikap Anda itu bukan Cuma membuat Anda tidak bertumbuh, tapi juga membuat mereka tidak bertumbuh?

Anda menjaga perasaan orang? Itu baik! Tapi jika Anda menjaga perasaan orang, kemudian hal itu membuat Anda dan mereka tidak bertumbuh, itu tidak baik!

Anda harus menerobos tembok kesungkanan Anda, ketika Anda melakukan hal ini, setidaknya ada satu kebolehan baru yang Anda dapatkan: berpikir secara objective.

Ini 2017, Anda tidak boleh menjadi manusia yang sama lagi dengan diri Anda yang lalu-lalu. Anda memang tidak harus selalu lebih baik dari orang lain, tapi Anda harus selalu lebih baik dari diri Anda yang kemarin.

Saya melakukannya dengan memindahkan sendiri keju Saya. Bagaimana dengan Anda?

"Adapt to change quickly, The quicker you let go of old cheese, the sooner you can enjoy new cheese."

~Spencer Johnson, Who Moved My Cheese


Have a Great Day Great People

Be Blessed


Milka Santoso

Great to Great Consultant